Rabu, 31 Maret 2021

[Resensi] Petualangan Yang Penuh Pembelajaran

 ‎

Judul ‎ ‎: Petualangan Tiga Hari‎

Penulis ‎: Dian Dahlia‎

Penerbit ‎: Penerbit Indiva Media Kreasi‎

Cetakan ‎: Pertama, September 2020‎

Ukuran ‎ ‎: 13 x 19 cm‎

Tebal ‎: x + 256 halaman

Kertas ‎: Book Paper, Soft Cover

ISBN ‎: 978-623-253-003-4‎

Harga ‎: 60.000,- ‎



Anak-anak hanya tahu kesenangan dan kesenangan. Sebentar marah, sebentar kecewa, tapi ‎sebentar kemudian akan tertawa gembira. Pikiran rumit dan pelik sepertinya hanyalah milik ‎orang dewasa. Lupa bahwa mereka adalah remaja yang sebentar lagi akan beranjak dewasa. ‎‎(halaman 9)‎


Agaknya kalimat di atas sangat tepat untuk menggambarkan kisah yang dialami tokoh utama di ‎sepanjang cerita. Karena remaja adalah masa di mana penuh pergolakan dan identik dengan ‎sifat labil dalam mengambil sebuah keputusan atau tindakan. Terkadang penyesalanlah yang ‎bisa membuat mereka sadar atas apa yang telah dilakukan.‎


Novel yang menjadi Juara Ketiga dalam Kompetisi Menulis Novel Remaja Indiva 2019 ini ‎memiliki pengambilan cerita yang berbeda dengan novel remaja pada umumnya. Bukan kisah ‎yang berbau merah jambu, melainkan sebuah petualangan yang memberikan pembelajaran ‎untuk menjadi remaja yang berani, jujur, dan mampu bertanggung jawab.‎


Novel ini menceritakan tentang seorang remaja bernama Mukhlis yang tinggal di kampung laut ‎Pallawa Lipu – berada di permukaan laut di salahsatu sisi selat Makassar wilayah perairan Kota ‎Bontang (halaman 6). Sehari-hari dia melakukan aktivitas yang bersinggungan dengan laut. ‎Mulai dari bermain bersama teman-teman, bersekolah, hingga membantu orangtuanya ‎menjemur rumput laut. ‎


Dibalik aktivitas yang biasa Mukhlis lakukan, dia menaruh harapan untuk dapat mengunjungi ‎kota Bontang. Dia penasaran dengan kota seberang yang menurut Sanusi – kakaknya, sangat ‎bersih, jalanannya lebar dan berkelok-kelok naik turun, mobil-mobil bagus berseliweran, dan ‎masih banyak lainnya (halaman 12). ‎


Tidak hanya itu, di antara teman-teman sekelasnya, hanya Mukhlis saja yang belum pernah ke ‎kota itu. Karena hal itulah Mukhlis semakin penasaran seperti apa bentuk, dan suasana Kota ‎Bontang yang diimpikannya dan sering dia dengarkan dari kakak, hingga teman-temannya. ‎


Sebenarnya langkahnya hanya sejengkal saja akan terwujud. Tapi sayangnya, karena ketinting – ‎perahu bermotor khas orang pesisir Bontang dan Kampong Laut, milik ayahnya rusak. Jadi dia ‎gagal melihat kota seberang untuk pertama kalinya (halaman 9).‎


Namun, ada satu kesempatan yang membuat Mukhlis tertarik untuk ikut dengan kapal besar ‎yang merapat. Tanpa berpikir panjang, dia memutuskan untuk memanfaatkan momen tersebut ‎dengan menumpang pada kapal yang akan mengantar orang sakit.‎


‎”Kenapa kau berdiri di situ saja sedari tadi, nak? Perlu tumpangankah? Mau berangkat ‎sekolah? Di mana sekolahmu?” (halaman 26)‎


Sesampainya di pelabuhan, Mukhlis mengalami hal yang tak terduga. Dia harus terpisah ‎dengan rombongan kapal. Jika harus menunggu, dia akan bosan menanti mereka datang. ‎Sedangkan Kota Bontang sudah di depan mata. Mukhlis berpikir, mengapa dia tidak ‎menjelajahinya walau seorang diri? (halaman 43).‎


Selanjutnya banyak hal yang harus Mukhlis hadapi. Dari mengalami kelaparan, kehausan, dan ‎terlunta-lunta tanpa mengenal siapapun. Beruntung pada satu kesempatan dia bertemu dengan ‎orang-orang baik yang siap membantu kesulitannya. Tapi sayangnya, dia juga kurang ‎beruntung karena harus bertemu dan terlibat dengan orang jahat yang memanfaatkan dirinya.‎


Membaca novel ini, pembaca akan diajak berpetualang oleh Mukhlis yang mana dia baru ‎pertama kali ke kota, dan belum ada pengalaman sama sekali. Tidak sampai di situ, penulis pun ‎juga menyiapkan kejutan lainnya untuk Mukhlis dari yang kejadian menegangkan seperti saat ‎dia harus berhadapan dengan Pak Jo. Lucu ketika Mukhlis merebut sandal yang berbeda milik ‎Alif. Hingga mengasyikkan seperti saat kebersamaan Mukhlis dan Rifki. ‎


Jujur saja, tema dalam novel ini memang unik, karena mengangkat cerita dari petualangan ‎anak  kampung laut yang terpencil dan trafficking – upaya perdagangan dan eksploitasi ‎manusia. Kemudian, penyampaian dalam gaya bercerita penulis pun sangat lugas, dan ‎sederhana. Sehingga membuat pembaca dicecar rasa penasaran sebelum menyelesaikan ‎seluruh ceritanya.   ‎


Penggunaan alurnya tidak bisa ditebak dan tidak membuat bosan. Selanjutnya, saya juga suka ‎dengan narasi penulis dalam mendeskripsikan latar dari kampung Pallawa Lipu maupun pada ‎Kota Bontang. Seakan-akan pembaca juga ikut terlibat dan menyaksikan kejadian yang dialami ‎Mukhlis. ‎


Tidak banyak kekurangan dari novel ini. Hanya saja ada salah ketik seperti pada halaman 219. ‎Selanjutnya, penulisan nama yang kurang tepat pada halaman 211. ‎


‎”Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Bu Ina mengetuk pintu kamar Mukhlis dan Rifki”‎

Padahal saat itu Mukhlis bersama Alif


Kemudian, ada bagian yang menurut saya kurang puas dari tidak adanya interaksi yang terjadi ‎pada Mukhlis dan ayahnya ketika dia berhasil pulang ke Pallawa Lipu. Namun, dengan ibu, ‎Sanusi, Hasna, dan Nita adiknya ada. Sebab petualangan 3 hari Mukhlis juga berawal dari apa ‎yang ayahnya janjikan padanya.‎


‎”Hmm, meski ambo-mu telah ceroboh memberimu janji yang tak dapat ditepatinya, kamu ‎tak boleh sampai dongkol begitu kepadanya,” (halaman 218)‎


Terlepas dari kekurangannya, novel ini layak dibaca. Karena sarat akan pembelajaran, ‎motivasi, realita kehidupan, hingga inspirasi. Selain itu, novel ini juga mengajarkan pembaca ‎untuk memiliki keberanian dalam melawan orang jahat. Kejujuran yang harus ditanamkan ‎seperti Mukhlis yang tetap tidak mengambil uang saat menemukan dompet.‎


Novel ini juga mengajarkan betapa pentingnya melaksanakan ibadah wajib, pentingnya ‎menuntut ilmu, tidak mudah menyerah, serta ajakan untuk menjaga kebersihan. Kemana pun ‎kita pergi, tentu keluarga adalah tempat kembali, hal itulah yang Mukhlis alami dalam ‎petualangan tiga harinya tersebut. Dari novel ini pula, saya jadi tahu kuliner berupa Ikan Gami ‎Bawis. Dan masih banyak lagi hikmah yang didapat setelah membaca Novel Petualangan Tiga ‎Hari ini. Salahsatunya kata sindiran yang menohok di bawah ini.‎


‎”Orang dewasa biasanya bertindak seenaknya kepada anak-anak seperti kira tanpa ‎bertanya,” (halaman 153)‎


Jember, 31-Maret-2021, 22:15‎


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa tinggalkan komentar kalian ya...
^_^

[Resensi] Petualangan Yang Penuh Pembelajaran

 ‎ Judul ‎ ‎: Petualangan Tiga Hari‎ Penulis ‎: Dian Dahlia‎ Penerbit ‎: Penerbit Indiva Media Kreasi‎ Cetakan ‎: Pe...