Selasa, 27 September 2016

[Review] Bidadari-Bidadari Surga – Tere Liye



Judul Buku    : Bidadari-Bidadari Surga
Penulis         : Tere Liye
Penerbit       : Republika
Cetakan       : VI, Maret 2010
Dimensi buku         : vi+368 halaman 20.5 x 13.5 cm
ISBN             : 978-979-1102-26-1


Endorsement

“Buku ini sarat makna akan kerja keras, pengorbanan dan penghormatan. Air mata saya menetes deras ketika mata dan angan saya sampai pada hal 62. Saya ingin seperti Laisa….”
—Ratih Sang, Top Model era ‘90

 “Laisa bukan gambaran wanita “ideal” di layar kaca yang “bening, licin, dan wangi”. Namun padanya setiap perempuan bisa berkaca soal keteguhan hati, kemandirian, cinta, dan keikhlasan. Begitu nyata, dan sangat membumi…”
—Jamil Zirlyfera, Pemimpin Redaksi UMMI

“Ini memang kisah yang menawarkan keharuan karena cinta. Namun, ini bukan keharuan cinta segitiga, segiempat, atau segilima yang sering kali memojokkan kita pada sekadar aksi rebutan antara laki-laki dan sejumlah perempuan…”
—Muhammad Yulius, Pemimpin Redaksi ANNIDA

“Penulis novel ini berhasil menggambarkan kesuksesan yang dicapai dengan kerja keras, pengorbanan yang ikhlas dan rasa syukur kepada Sang Pencipta.”
—M. jusuf Wibisana, Chairman Pricewaterhouse Coopers Indonesia

***

Sebuah pesan dengan 203 karakter dari Mamak Lainuri melesat dengan cepat kepada 4 nomor telepon genggam yang berbeda lokasi. Pesan yang berisi sebuah permohonan supaya pemilik 4 nomor tersebut segera pulang, karena kakak mereka, -Kak Laisa- sedang sakit parah.

“PULANGLAH. Sakit kakak kalian semakin parah. Dokter bilang mungkin minggu depan, mungkin besok pagi, boleh jadi nanti malam. Benar-benar tidak ada waktu lagi. Anak-anakku, sebelum semuanya terlambat, pulanglah….”

Professor Dalimunte yang merupakan professor fisika termuda yang saat itu sedang ada symposium fisika internasional. Dalam jangka waktu 15 menit dia menerangkan terkait penelitiannya dengan judul ‘Pembuktian Tak Terbantahkan Bulan Yang Pernah Terbelah’ di depan audience yang antusias mendengarkan materinya. Namun, begitu dia akan menjelaskan ‘Badai Elektromagnetik Antar Galaksi’ untuk mengambil jeda. Telepon genggam khusus keluarganya berbunyi. Seketika, ada pertanyaan yang menggantung. Ada apa? Apa yang sedang terjadi?. Sehingga dia pun menyudahi pembicaraan yang belum usai di tengah symposium tersebut (hal. 18).

Di sisi lain, Wibisana dan Ikanuri yang merupakan kakak beradik tapi hampir 99,99% mirip itu kini sedang dalam perjalanan menuju Roma untuk sebuah pertemuan bisnis pabrik butut yang merupakan bengkel modifikasi mobil mereka. Modal utama yang membuat Wibisana dan Ikanuri bisa sampai ke Roma, Italia adalah berbekal dari sikap nekad, bandel, keras kepala yang sudah mereka punya sejak kecil. Begitu turun dari pesawat yang telah lepas landas, mereka menyalakan kedua HP mereka. Yang mana HP bisnis dan HP keluarga. Tapi sayangnya, setelah booting beberapa menit sebelum membuka phone book HP keluarga Wibisana dan Ikanuri bergetar. Pertanda ada pesan masuk. Layaknya Professor Dalimunte, ada pertanyaan yang menggantung. Ada apa? Apa yang terjadi? (hal. 24).

Di belahan bumi Jawa Timur, tepatnya di puncak gunung Semeru, seorang gadis cantik dengan beberapa temannya sedang asyik mengamati sang penguasa angkasa, yakni burung alap-alap kawah (peregrine) yang terbang dengan lincahnya. Gadis yang menjadi team leader kelompok penelitian kecil burung dan mamalia endemic itu bernama Yashinta (hal.28). Selain menjadi seorang penliti, dia juga seorang koresponden foto National Geographic. Ketika dia akan mengambil gambar peregrine yang sedang memberi makan kepada anaknya,tiba-tiba telepon gengam satelit miliknya berbunyi. Anehnya, di saat Yashinta menemukan objek menarik tersebuht, HP satelit untuk keluarganya berbunyi. Sama halnya dengan Professor Dalimunte, Wibisana, dan Ikanuri, Yashinta juga khawatir terkait isi pesan di HP nya itu. Ada apa? Apa yang terjadi? (hal. 29).

Dalimunte merupakan anak dari Mamak Lainuri yang kedua, setelahnya ada Wibisana, Ikanuri, dan Yashinta. Kegiatan yang mereka geluti saat ini berbekal dengan pengalaman hidup serta pelajaran yang mereka terima dan alami selama tinggal di lembah lahambay, yang selanjutnya menjadi lembah perkebunan strawberry berkat tangan seorang kakak yang rela memupuskan asanya untuk sekolah demi adik-adiknya. Dia adalah kak Laisa.

Begitu membaca pesan dari Mamak Lainuri, Dali dan Cie Hui – istrinya – serta Intan segera berangkat menuju perkebunan strawberry. Sedangkan Wibisana dan Ikanuri cukup kebingungan untuk kembali lagi ke Jakarta. Mereka akhirnya memilih untuk memutar jalur penerbangan dari Paris. Yang mana ketika perjalanan pulang, ada banyak kendala yang menghalangi mereka. Sedangkan Yashinta, setelah membaca pesan dari Mamak Lainuri, dia bergegas untuk segera turun gunung dan secepatnya pulang tanpa mempedulikan penelitian peregrinnya. Alhasil, saat ia tergesa-gesa turun, Yashinta terpeleset dan jatuh ke jurang tanpa diketahui teman-temannya.

Kak Laisa adalah seseorang yang berjasa bagi kesuksesan adik-adiknya, dan juga warga lembah lahambay. Berkat tangan kecil dan tubuh gempalnya, dia mampu menyulap lembah hijau di tempat tinggalnya menjadi sebuah perkebuan strawberry yang menghasilkan serta mempekerjakan warga sekitar untuk kelangsungan hidup yang lebih baik.

Sebelum kesuksesan itu tiba, ada banyak kisah dibaliknya. Seperti Dali yang sudah bisa membuat kincir air ketika dia masih duduk di bangku sekolah dasar, Yashinta dengan kecintaannya terhadap binatang dikarenakan Laisa mengajaknya ketika melihat berang-berang. Karena itulah, dia banyak belajar dari alam, juga dari penuturan Laisa.

“Kau tahu? Saat ada ular pemangsa yang mengancam sarangnya, saat ada hewan buas lain yang mengincar anak-anaknya, induk kukang akan habis-habisan mempertahankan sarang. Sampai mati. Dan ketika ia mati, sekarat, induk kukang akan mengambil cairan di ketiak kiri dan kanannya, menjadikannya satu, mengusapkannya ke seluruh tubuh. Jika dua cairan ketiak kukang digabungkan, itu menjadi racun mematikan. Yang akan membunuh ular atau pemangsa lain saat akan memakan tubuhnya. Kau tahu apa gunanya pengorbanan itu? Agar anak-anaknya tetap selamat, induk kukang mati bersama dengan pemangsanya” – (hal. 351)
Pelajaran itu berasal dari Kak Laisa yang tak ditemukan Yashinta  di perguruan tinggi tempatnya belajar. Yashinta adalah adik tersayang di keluarga Mamak Lainuri. Dia adalah gadis periang nan cantik. Bahkan ketika dia dewasa, banyak pemuda termasuk temannya yang mengaguminya. Jauh berbeda dengan kak Laisa dengan tubuh gempalnya, wajah hitam, hidung pesek, dan rambut gimbalnya itu.

Lain cerita dengan Wibisana dan Ikanuri yang sangat bandel dan nakal kepada Mamak Lainuri dan Kak Laisa apalagi. Kebandelan mereka sungguh keterlaluan. Kenakalan sewaktu mereka masih kecil beragam. Mulai dari membolos di waktu pelajaran sekolah, mencuri mangga Wak Burhan hingga diketahui Kak Laisa, sampai mereka tega mengatakan jika Laisa bukanlah kakak mereka. Karena, kalau memang Laisa adalah kakak mereka, pasti dia akan cantik, memiliki kulit putih seperti Yashinta. Tapi, Laisa tidak demikian.
         
          “LIHAT! Kulit kau hitam. Tidak seperti kami, yang putih. Rambut kau gimbal, tidak seperti kami, lurus. Kau tidak seperti kami, tidak seperti Dalimunte dan Yashinta. KAU BUKAN KAKAK KAMI. Kau pendek! Pendek! Pendek”

“Ya Allah, aku mohon, jangan pernah, jangan pernah buat aku menangis di depan adik-adikku. Jangan pernah! Itu akan membuat mereka kehilangan teladan.”
         
          Meski demikian, Kak Laisa tetap menyembunyikan perasaan tersebut di depan adik-adiknya supaya mereka tidak kehilangan sosok teladan. Pasalnya, Babak mereka sudah tiada sejak Yashinta masih dalam kandungan.

          Perjalanan Dalimunte, Wibisana, Ikanuri, dan Yashinta amat ditunggu oleh Mamak dan Kak Lais. Apalagi, Yashinta belum juga ditemukan setelah terpeleset jatuh ke jurang. Karena Kak Laisa ingin seluruh keluarga berkumpul di saat ia harus berjuang melawan penyakit yang dideritanya ketika ia mencari pertolongan untuk Yashinta yang tiba-tiba kejang-kejang di tengahnya malam. Akankah Yashinta bisa berkumpul kembali dengan Mamak Lainuri, Dalimunte, Wibisana, Ikanuri, serta kakak iparnya, Cie Hui, Wulan, Jasmine, dan para keponakan seperti Intan, Delima, dan Juwita. Akankah penyakit kak Laisa bisa terobati dengan berada di tengah-tengah orang-orang yang dicintainya?

***
         
          Saya mendapatkan novel ini ketika ada lapak yang menjajakan buku dengan harga miring. Tapi ternyata kualitas bukunya kurang baik. Bukan buku asli, karena ini seperti foto copyan. Apa sih namanya… hehehe… Namun demikian, saya sangat suka isi cerita di bukunya.

          Awal pertama kali membaca judul buku ini saya teringat dengan film yang pernah diangkat di televisi. Saat itu saya belum membaca versi bukunya. Menurut saya setelah membaca keseluruhan isi cerita pada Novel Bidadari-Bidadari Surga in, lebih keren penuturan bukunya daripada visualisasinya di televisi tersebut.

          Membaca perjalanan cerita Laisa membuat saya berdecak kagum dengannya. Usaha, kerja keras yang dia tanamkan begitu baik untuk adik-adiknya. Kesedihan yang membuat saya tiba-tiba meneteskan air mata dikala Wibisana dan Ikanuri yang tega sekali mengatakan jika Laisa bukan kakak mereka dengan mengejeknya. Selain itu, mengenai Laisa yang didahului pernikahannya hingga adiknya ketiga, yaitu Ikanuri. Apalagi ketika Laisa harus menghadapi kenyataan akan menikah dengan seorang kolega dari Dalimunte untuk menjadi istri kedua dari temannya itu. Tapi sayangnya istri pertama dari kolega tersebut dinyatakan hamil dan tidak jadi untuk menikah. Masih ada beberapa potongan bagian yang reflek membuat saya menghujani buku ini.

          Kekuatan dan ketegaran Laisa memberikan banyak pelajaran bagi tiap pembaca. Konflik yang dibangun penulis sangat baik. Dengan memakai alur maju-mundur, Tere Liye mampu meracik tulisannya dengan indah. Selain itu, sudut pandang yang dipakai Tere Liye ini mampu membuat saya bertanya-tanya. Hehe… Yang ternyata twistnya cukup apik. Saya juga menemukan banyak kata-kata motivasi dan juga sindiran halus yang mendidik. Tapi keknya tulisan saya sudah kepanjangan ini ya. Heheheh

Namun sayangnya lagi, masih ada banyak beberapa typo yang muncul. Apalagi untuk bagian buku yang saya dapatkan secara Cuma-Cuma itu, ada bagian lembaran yang isinya kosong. Jadi, cukup meraba-raba saja isi ceritanya. Overall, saya suka dengan isi buku dan juga covernya ini.

Hehehe…. 4 bintang untuk buku “Bidadari-Bidadari Surga

Tulisan ini diikutsertakan dalam Project Battle Challeng #31HariBerbagiBacaan

4 komentar:

  1. Aku udah nonton filmnya. Terharu...

    BalasHapus
  2. ma kasih udah diingatkan dik kembali

    BalasHapus
  3. Aku sering denger tentang Tere Liye, tapi belom satu pun bukunya yang aku baca.. Tapi baca review ini, yang katanya tentang keteguhan hati seorang perempuan, saya tergerak untuk nyari dan baca sampe abis buku ini.. :D

    BalasHapus

Jangan lupa tinggalkan komentar kalian ya...
^_^

[Resensi] Petualangan Yang Penuh Pembelajaran

 ‎ Judul ‎ ‎: Petualangan Tiga Hari‎ Penulis ‎: Dian Dahlia‎ Penerbit ‎: Penerbit Indiva Media Kreasi‎ Cetakan ‎: Pe...